Minggu, 26 Desember 2004, setelah bangun dari tidur aku tiduran lagi di depan tv sambil menonton film kartun kesukaanku, Doraemon bersama adik dan kakak perempuanku. Pada saat itu umurku masih 11 tahun, kelas 1 SMP. Ketika sedang asyik menonton, tiba-tiba ibu ku keluar dari kamarnya dan berteriak, “ehh, gempa, GEMPA naakk!!”
Kami pun langsung berlari keluar rumah dan duduk di jalan. Pada waktu itu ayahku sedang tak ada di rumah. Di luar, kami semua duduk di depan pagar dekat jalan. Rasanya gempa waktu itu kencang sekali, sampai-sampai pohon-pohon yang ada di dekat rumah rasanya sujud semua, lalu air di got pun sampai keluar karena kuatnya guncangan gempa. Bahkan ada satu perempuan yang ketika gempa lewat depan rumah naik motor pun jatuh terbanting dari motornya.
Itu pertama kalinya bagi aku merasakan gempa bumi, bagi adik dan kakak ku juga. Waktu itu yang bisa terucap dari mulut kami hanya kalimat-kalimat Allah tak henti-hentinya. Takut, sangat takut.
Alhamdulillah setelah beberapa menit kemudian gempa berhenti. Kami pun masuk ke rumah untuk melihat-lihat keadaan di dalam rumah. Ayahku pulang. Alhamdulillah lagi, tak ada kerusakan yang parah di rumah, paling hanya tembok yang retak-retak sedikit. Karena kami belum makan pagi, ibuku membuatkan teh manis hangat untuk kami. Ayahku pergi lagi, ingin membelikan kue untuk kami, katanya.
Tidak lama setelah itu gempa lagi. kami pun keluar lagi dari rumah. Di luar aku melihat tetangga sebelah juga semua keluar ke jalan. Gempa berhenti.
Tiba tiba ibu tetangga teriak dan menunjuk ke arah laut, “Jeh jeh JEH!! (jeh= itu, bahasa Aceh). Kami pun melihat ke arah yang di tunjuk ibu itu. Dari jauh aku melihat seperti ada asap hitam yang tinggi dan tebal. Asap itu rasanya berjalan ke arah kami, makin lama asapnya makin tinggi sampai pohon kelapa saja lewat, tidak lama setelah itu asapnya turun dan merobohkan, melenyapkan, merusak semua bangunan di depannya, setelah itu aku baru sadar kalau itu bukan asap, itu gelombang air laut besar. Sungguh mengerikan. TSUNAMI namanya, baru saja aku pelajari seminggu yang lalu pada saat pelajaran Geografi di sekolah.
Melihat orang dari arah pantai ada banyak yang berlarian, kami pun ikut lari. Aku lari paling depan, di belakang ada kakakku, dan di belakang lagi ada ibuku dan juga adikku. Ayahku entah di mana. Aku berlari sambil terus melihat ke belakang dan berteriak pada ibuku, “maaak, ayo mak, cepat maaak!!”
Belum jauh berlari, ada seorang bapak, aku kenal dia, penjaga kampus UNIDA di depan rumahku. Dia mengajakku berlari bersama dan menyuruku melepas sandalku. Ku lihat di got dan sawah-sawah di samping jalan sudah hampir penuh dengan air. Aku takut sekali.
Setelah beberapa meter berlari aku melihat ayahku datang naik motor, dan setelah ayahku dekat, aku langsung naik ke motornya. Ayah bertanya, “mana Mama?” aku melihat ke belakang mencari di mana ibuku dan juga adik dan kakakku, “Itu” tunjuk ku ke belakang. Ibuku seperti tak kuat lagi berlari, tapi Alhamdulillah sampai juga di tempat kami, lalu kami semua pergi ke arah dataran yang lebih tinggi dengan mengendarai sepeda motor. Bayangkan saja 1 motor dinaiki oleh 5 orang, tak pernah kami lakukan sebelumnya.
Di dalam perjalanan kami semua terus dan tak henti-hentinya menyebutkan kalimah2 Allah. Dalam hati kami terus bertanya-tanya “apakah ini KIAMAT ya Allah?” Semua orang lalu-lalang di jalan, banyak orang-orang yang berlari-lari tanpa tujuan, ada juga yang mengemudikan kendaraan dengan sekencang-kencangnya. Banyak sekali kecelakaan di jalan pada saat itu.
Ayahku pun begitu, mungkin, aku pun tak sadar berapa kecepatan motor kami pada saat itu. yang ada dalam pikiran ayahku mungkin hanya harus ke mana menyelamatkan kami sekeluarga dari air bah itu. kami pun akhirnya sampai di sebuah bukit di daerah Indrapuri, Aceh Besar. Kami berhenti di sana karena bensin motor telah habis, kalau belum mungkin entah sampai ke mana.
Pada saat itu kami hanya memakai pakaian rumah, ibuku hanya memakai daster, bahkan alas kaki pun sudah tak ada, kami tak punya apa-apa. Padahal kami belum makan pagi, tapi rasa lapar pun menghilang dengan sendirinya.
Di atas bukit itu kami masih merasakan gempa, berhenti sebentar, lalu gempa lagi. Begitu terus.
Setelah mendengar dari orang-orang bahwa sudah aman kami sekeluarga kembali lagi ke kota, di jalan banyak tenda-tenda darurat yang sebelumnya tak ada. Awalnya kami pikir itu adalah tenda bantuan tapi ternyata setelah melihat ke dalamnya ada banyak sekali mayat-mayat korban tsunami. Innalillah.
Sore itu kami tak pulang ke rumah, kami menginap di rumah teman ibu di daerah Lampeunerut. Hanya ayahku yang mencoba pulang ke rumah untuk melihat keadaan karena mendengar bahwa air telah surut. Sebelum ayah pergi, ibu berpesan jika sudah tiba di rumah agar mengambil barang-barang berharga dan yang lainnya yang mungkin bisa digunakan.
Hampir magrib, ayah kembali, ayah berkata pada ibuku bahwa tak ada yang bisa diambil, rumah kita sudah rata dengan tanah, tak bersisa. Ibuku pun menangis. Kami sangat sedih. Sekarang kami tak punya apapun lagi, hanya ada baju yang melekat di badan...
0 komentar:
Post a Comment